Wandering & Wondering

Melahirkan Itu Sakit atau Tidak?

12/18/2022

 

“Birth is not only about making babies. Birth is about making mothers — strong, competent, capable mothers who trust themselves and know their inner strength.”

—Barbara Katz Rothman

  

Gambar oleh Rebecca Scholz dari Pixabay
 
 

Tinggal beberapa hari lagi anakku akan bertemu dengan tanggal ulang tahun pertamanya. Dan bukan hanya itu, aku juga akan bertemu dengan ulang tahun pertamaku menjadi seorang ibu. Kami berdua terlahir menjadi ibu dan anak pada waktu yang sama. Semalam, sebelum aku menulis ini, ketika ia tertidur, air mata menetes begitu saja. 

 

Rasa Sakit yang Masih Terbayang di Kepala

Jika ada yang bertanya padaku, apakah melahirkan itu sakit atau tidak, aku akan langsung menjawab: sakit. Benar-benar sakit. Bagaimana rasa sakitnya? Bagaimana bisa bertahan dan bisa kuat?

 

Sebelum aku menjawab itu, aku ingin mengatakan ini: melahirkan ada proses yang sangat personal. Ya sangat personal. Kenapa begitu? karena pengalaman melahirkan tiap orang itu berbeda. Derajat rasa sakit yang dirasakan juga berbeda-beda. Maka, cerita ini tidak bisa mewakili semua yang dirasakan para ibu melahirkan di luar sana. Jika kamu adalah calon ibu yang sedang hamil dan menunggu kelahiran si buah hati, cerita ini tidak bisa jadi gambaran bagaimana proses melahirkanmu nantinya ya. Dan kalau misalnya kamu adalah calon ibu yang tidak ingin atau tidak kuat membaca cerita tentang proses menyakitkan dan ingin menjaga agar bayangan melahirkan yang baik-baik saja, sepertinya cukup membaca sampai sini saja dan tidak usah diteruskan, tidak apa-apa. 

 

Bagi kamu yang ingin lanjut membaca. Kita lanjut lagi ya. 

 

Kondisi tubuhku yang jarang berolahraga sebelum hamil dan melahirkan, membuat kehamilanku saat itu terasa berat. Tubuh yang tidak terlatih ini tiba-tiba harus siap menanggung beban berat janin yang menempel dan tidak bisa dilepas begitu saja layaknya barbel ketika kamu melatih ototmu yang tinggal simpan saja, beban itu hilang. Janin itu harus aku bawa kemana-mana, dan semakin lama, semakin terasa beratnya. Saat itu, aku jadi menyesal kenapa aku tidak berolahraga yang rutin dan cukup agar kuat ketika hamil. Dan sebelum lebih jauh lagi, sepertinya perjalanan hamilku ini akan aku ceritakan di postingan lainnya. 

 

Yang jelas, ketika aku hamil dan banyak bertanya pada orang sekelilingku tentang proses lahiran. Kebanyakan menjawab, "Sakit sih. Tapi, insya Allah bisa." 

 

"Waktu itu aku ke RS, jam sekian dokter bilang pembukaanku sudah lengkap, akhirnya keluarlah bayiku yang sekarang."

 

"Enggak usah terlalu dipikirin. Yang enjoy aja. Ga terlalu sakit, kok!"

 

"Pokoknya pas lahiran dan kita ngeliat wajah bayi kita, semua rasa sakit hilang."


Sebelum hamil, biasanya teman-temanku akan menceritakan proses hamil dengan banyak ekspresi. Biasanya mereka menceritakan juga rasa sakit yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Tapi, ketika aku hamil, banyak yang bilang "Santai Aja" mungkin kesannya ingin memotivasi dan tidak kepikiran ya, tapi itu justru membuatku tidak bisa mempersiapkan diri untuk merasakan rasa sakit yang teramat ketika melahirkan. Ketika proses konstraksi menuju melahirkan pervaginam, yang aku rasakan adalah rasa sakit yang tidak terbendung ketika konstraksi. Saat itu, aku memikirkan semua perkataan orang-orang itu. Di sela-sela membasahi mulut dengan berdoa, aku kesal sendiri (Maafin aku ya Allah) dan berpikir, "Apanya yang enggak sakit? apanya yang santai aja? Kenapa enggak ada yang bilang dan mewanti-wanti aku bahwa rasa sakit ketika konstraksi itu sesakit ini."

 

Selain rasa sakit konstraksi yang aku rasa berkali-kali lipat dari dismenore ketika nyeri haid, atau ketika mules biasa, rasa sakit konstraksi itu berlangsung lama. Aku merasakan nyeri konstraksi selama 24 jam dari pembukaan 1 pukul 2 malam, dan baru melahirkan sekitar 2.30 dini hari esoknya. Seiring pembukaan kian bertambah, rasa sakit juga semakin menjadi-jadi, bahkan ketika pembukaan lengkap, setelah mengeluarkan kekuatan dengan seluruh daya upaya, si bayi tidak langsung keluar. Nyeri konstraksi itu bagiku sangat sakit, perut terasa melilit begitu dahsyat. Bahkan ketika bayi terlahir dan keluar tidak lebih sakit dari konstraksi yang berlangsung berjam-jam. Ketika bayi keluar yang aku rasakan adalah perasaan lega setelah merasakan konstraksi yang begitu lama. 


Pasca melahirkan, semua terasa berat. Aku tidak pernah merasakan rasa sakit dan rasa lelah seperti melahirkan seumur hidupku. Melihat bayiku, aku terharu, tapi rasa sakit tidak kunjung hilang seperti apa yang dibilang orang. Lahiran pervaginam--atau orang awam sebut sebagai lahiran normal--yang berakhir harus dijahit sepertiku, akan juga merasakan nyeri ketika harus buang air ke WC. Dengan badan yang terasa remuk itu, bayi harus langsung disusui dan itu juga tantangan tersendiri, waktu tidurnya yang sering terbangun ketika malam harus dihadapi dengan tubuh yang belum terlalu pulih ini.

 

Tidak Boleh Bilang "Sakit" dan Minimnya Validasi untuk Ibu

Setiap kali aku bercerita tentang rasa sakitku ketika melahirkan, ada saja yang bilang, "Hussh... Jangan bilang gitu. Kan udah terlewati. Harus kuat"

 

Pernah ada juga teman yang hamil menanyakan pengalamanku ketika melahirkan, dan karena dia menanyakan honest opinion, aku ceritakanlah perjuanganku ketika melahirkan lengkap dengan cerita sakitnya konstraksi. Ada seorang ibu yang lewat dan langsung menegurkku, "Eh, jangan bilang gitu. Melahirkan itu anugerah. Jangan bilang sakit, orang enggak sakit, kok!" lalu dia beralih pada temanku dan berkata, "Udah enggak usah dipikirin. Enggak sakit kok, sembuhnya juga cepet."

 

Dan ini aku temui beberapa kali dari ibu-ibu yang seumur ibuku. Adalah sebuah larangan untuk bilang, "Sakit". "Enggak sakit kok. Kuat! bisa!". Kalau yang masih muda-muda, biasanya kita berakhir sepakat bahwa melahirkan adalah proses yang menyakitkan. Mungkin setiap orang mengalami pengalaman yang berbeda dan berbeda pula perasaannya ketika menanggapi ujaran agar seorang perempuan itu harus kuat dan tidak boleh mengeluh sakit. Tapi, buatku secara pribadi, rasa-rasanya perasaanku tidak divalidasi, tidak dianggap berharga, rasa sakit yang aku alami dianggap seperti angin lalu atau aib yang harus ditutup rapat-rapat. Seorang ibu itu harus kuat, tanpa boleh merasakan sakit dan mengutarakan rasa sakitnya. 

 

Tapi, tentu saja bukan salah mereka. Karena, pandangan seperti ini juga pasti ada latar belakangnya. Mungkin para ibu sudah sekian lamanya tidak boleh mengutarakan apa yang ia rasakan, mungkin sudah bertahun-tahun ia tidak divalidasi perasaannya, alih-alih diperhatikan, mungkin para ibu dihakimi sebagai pribadi manja. Karena seorang ibu harus terus tersenyum dan sudah sepantasnya berkorban tanpa boleh sekadar menceritakan apa yang ia rasa. Berat sekali jadi seorang perempuan ya. 

 

Jika lingkungan sekitarku tidak bisa memvalidasi perasaanku, tidak berempati dengan apa yang telah aku lalui, berarti aku sendiri yang harus kuat dan meyakinkan diriku. Untungnya ada suamiku yang selalu jadi tempat cerita dan selalu menganggap aku berharga, tanpa divalidasi perasaan olehnya entah bagaimana jadinya. Ia tahu rasa sakit yang aku alami dan bagaimana aku harus beradaptasi memberikan ASI untuk bayiku, makanya ia melakukan banyak pekerjaan rumah agar aku bisa total beristirahat. Ia belajar memandikan bayi dan mau bergantian menggendong bayi. Darinya aku belajar untuk memberi validasi itu pada diriku sendiri. 

 

"Rasa sakit yang aku alami itu benar adanya dan wajar jika aku merasakan sakit dan kelelahan. Itu bukan berarti aku menjadi ibu yang buruk. Justru aku adalah ibu yang berani dan kuat, karena meski merasakan rasa sakit itu, aku tetap bertahan, tetap belajar menjadi ibu yang terbaik untuk anakku. Bukan ibu sempurna, tapi ibu yang mau berusaha di tengah rasa apapun yang aku rasakan."

 

Jika kamu adalah ibu yang mengalami rasa sakit dan lelah pasca melahirkan, kamu tidak sendiri. Semua yang kamu rasakan itu valid. Kamu bukanlah ibu yang buruk meski kamu tidak berpura-pura kuat. Kamu bukan ibu yang buruk ketika menumpahkan segala cerita dan perjuangan dibalik proses kehamilan dan kelahiran yang tidak mudah. Kamu bukanlah ibu yang buruk meski kamu merasakan bahwa memiliki anak adalah sesuatu yang berat. Kamu adalah ibu yang hebat, yang kuat, yang kompeten, yang utuh karena kamu mampu bangkit meski sakit. 

 

Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi tulisan ini adalah prosesku mengeluarkan keramaian dalam kepalaku tentang apa yang sudah aku lalui, dan tulisan ini adalah cara aku menyapa para ibu di luar sana, kamu mungkin salah satunya, yang merasakan rasa sakit seperti yang aku rasa, bahwa kamu tidak sendiri. Kita berada dalam perahu yang sama. Kita berada dalam jalan perjuangan yang sama.

 

Menuju Genap Setahun Menjadi Seorang Ibu

Lalu, setelah hampir setahun ini menjadi seorang ibu dan melalui fase berat melahirkan dan pasca melahirkan saat itu. Apa yang aku rasakan sekarang?

 

Beyond Happy.

 

I feel content. 

 

Benar-benar bahagia. Lebih dari rasa senang biasa, tapi rasa bahagia dan rasa tenang, juga rasa cukup yang teramat indah dirasakan. Melihat anak dari yang awal kelahirannya hanya bisa tidur dan menyusu, kini anakku bisa berjalan, bisa bermain cilukba, bisa tertawa-tawa, bisa memeluk ibunya dan memandangi dengan penuh cinta. Seumur hidup, tidak pernah aku merasakan rasa cinta yang sedalam ini, dan tidak pernah aku merasakan rasa dicintai setulus ini--tentunya selain oleh suami ya hehe. Tapi beneran, lho. Rasa cinta ini berbeda dengan rasa cinta pada suami, dan bagaimana anakku ingin selalu dekat denganku, sebagaimana aku adalah sosok yang bisa membuatnya nyaman dan aman, dicintai sedalam itu oleh makhluk kecil ini adalah sebuah anugerah yang tidak pernah terkira. 

 

Meski saat kelahirannya, mungkin rasa sakit pasca melahirkan tidak langsung hilang ketika melihat wajahnya, namun seiring berjalannya waktu, seiring tubuh memulih, seiring kita bisa tahu ritme tidurnya, ritme makannya, ritme aktivitasnya, perjalanan menjadi ibu adalah perjalanan yang luar biasa indah. 

 

Untuk ibu lain yang tengah membaca ini dan mungkin masih berada di fase post partum, tubuh yang belum pulih, menyusui yang masih sakit, aku ingin bilang:

 

Kamu tidak sendiri. Things will get better. You will get better. Your child is beyond grateful to have you. 

 

Tentunya di depan sana, masih akan ada lebih banyak tantangan lagi. Ibu-ibu yang lebih berpengalaman di luar sana mungkin akan bilang, "Belum tahu aja nanti." Hahahaha. Enggak apa-apa. Aku mau menjalani perjalanan panjang menjadi seorang ibu ini selangkah demi selangkah. Belajar sedikit demi sedikit. 

 

Semalam, ketika aku melihat bayiku tertidur lelap. Tidak terasa air mata mentes begitu saja. Bukan, bukan karena teringat rasa melahirkan yang sakit, tapi betapa bersyukurnya aku bisa menjadi ibu, merasakan naik turunnya perasaaan, melihat janin yang dulu hanya dilihat dari foto ultrasonografi, sekarang sudah bisa berjalan. Jika ditanya, melahirkan itu sakit atau tidak? Ya. 

 

Is it worth it?

 

A thousand times, Yes!

 

 

Haruskah Ibu-Ibu Menulis?

12/12/2022

 

Menjadi seorang ibu adalah anugerah. Kita dianugerahi anak yang memanggil kita Ibu (atau apapun panggilannya). Namun, tak banyak yang membahas bahwa anugerah itu datang dengan sederet kekhawatiran, beribu-ribu kegelisahan dan pikiran yang menghantui.

 

Apakah aku sudah jadi ibu yang baik? kapan luka melahirkan ini sembuh dan aku kembali ke tubuhku semula? bagaimana kalau anakku sakit? apa yang harus aku lakukan jika ia sulit menyusu? temanku sudah mencapai posisi karir tertentu, apakah aku ketinggalan? anak tetangga sudah bisa berlari, anakku gimana? makananku enak enggak, ya? setrikaan kapan bisa kukerjakan? suamiku kecewa enggak ya sama aku? Aku lelah, kapan aku bisa me time? kapan aku bisa ngobrol sama temanku? dan jutaan pikiran lainnya.


Kadang, luka yang kita rasakan baik fisik setelah melahirkan atau luka-luka inner child yang muncul tiba-tiba akan semakin bising di kepala.


Sebenarnya dari pasca melahirkan, ingin sekali menuliskan ini itu, tapi rasanya sudah lelah mengurus newborn, dan pikiran yang kebingungan bikin membuat aku makin lelah juga. Keinginan menulis ditunda saja terus sampai akhirnya menumpuk di kepala, tidak kemana-mana, tetap di sana, menatap dan menunggu kapan untuk dituliskan. Maka, ya aku menulis di sini.


Jika ditanya, apakah ibu-ibu harus menulis? jawabanku, tidak harus. Tapi, kalau mungkin ingin suara dalam kepala ini terurai, menulis bekerja baik untukku.


Kalau kamu juga seorang ibu, dan merasakan hal yang sama denganku, itu artinya tulisan ini bisa membuatku dan kamu sebagai pembaca di luar sana, tidak merasa sendiri. Bisa jadi tulisanmu juga begitu.


Apakah ibu-ibu harus menulis? tidak harus. Tapi, aku akan sangat senang jika kamu, seorang ibu, mau. Jika tidak, kamu bisa tetap di sini dan membaca ceritaku.


Kalau kamu menemukan tulisan ini, selamat datang, silakan masuk. Semoga kamu bisa jadi temanku bercerita tentang bagaimana ibu baru ini mengarungi hari-hari yang sebenarnya ya bisa jadi biasa saja.


Meski biasa saja, bukankah tetap bisa jadi anugerah?