Suatu hari, 2 tahun lalu, saya mengunjungi dua sahabat baik saya di Banten. Menengok satu orang di Serang--namanya Syifa--kemudian "menculiknya" ke Anyer untuk menemui satu orang lagi yaitu Aam. Perjalanan dari Serang ke Anyer butuh waktu tidak cukup lama, sepertinya kurang dari satu jam dengan mengendarai sepeda motor. Aam mengajak seorang saudaranya untuk bergabung dengan perjalanan kami. Saya saat itu ingin pergi ke Pantai Karang Bolong, dan ketiga orang Banten itu mengiyakan keinginan saya. Beruntung sekali punya mereka.
Ketika kami sampai di tempat parkiran motor Pantai Karang Bolong, kami kaget dengan biaya parkir yang mahal, kalau tidak salah 15ribu rupiah atau lebih ya. Saya lupa. Belum lagi biaya masuk pantai Karang Bolong yang juga mahal (Lagi-lagi saya lupa berapa harganya). Lumayan itu ongkosnya bisa dipakai jajan saya selama berkunjung di sana. Hehe. Akhirnya setelah masuk ke parkiran dan menanyakan harga parkir, kami pergi dari parkiran tersebut dan tidak jadi parkir. Haha. Sekere itu saya.
Teman saya yang bahkan orang Anyer juga tidak bisa menawar cantik, jadilah kami pergi ke pantai lain di sebelah pantai Karang Bolong, yang tidak banyak dikunjungi orang. Bahkan lebih tepatnya, tidak ada yang mengunjungi. Di pantai itu, ada satu warung dan dermaga yang belum jadi. Kamipun memutuskan untuk menghabiskan waktu di pantai gratis dan sepi itu. Yang penting saya bisa menghabiskan waktu dengan teman-teman saya, pemandangan indah ya bonus.
Ketika kami sampai di pantai itu, saya melihat anak-anak bergelantungan di atas pohon. Saya berteriak ke arah mereka, "Nujuuu naooon?" ("Lagi ngapain?")
"Biasa teh! Ulin!" (Biasa aja, Teh. Main.)
Ketika saya mengarahkan kamera ke arah mereka, mereka semakin cari perhatian dan heboh.
Tidak lama kemudian, mereka turun dari pohon. Masih cekakak-cekikik. Saya masih terus mengajak mereka mengobrol dan mereka semakin bersemangat. Akhirnya mereka melepas baju mereka seluruhnya (Ya! Seluruuuuhnya!) dan melompat ke dalam air laut.
"Teh, poto atuh teeeeh!" (Teh, poto dong teh!)
Mereka semakin heboh menunjukkan atraksi-atraksi di dalam air. Tapi, tidak bisa saya tampilkan semua. Karena tidak lulus sensor. Hahahaha. Lalu saya izin untuk berfoto di tempat lain, dan mereka masih melanjutkan renang asyik mereka.
Sebuah Jalan Pintas
Ada beberapa spot foto menarik di pantai sepi itu. Kami berfoto sana-sini. Lalu, karena masih penasaran dengan pantai Karang Bolong yang mahal itu, saya bertanya pada anak-anak itu ada tidak jalan pintas ke Karang Bolong tanpa harus bayar.
"Ayaaaa, teh!" (Ada, Teh!)
Kemudian, mereka memakai baju mereka dengan badan yang masih basah, satu orang membawa sebuah bola dan berkata, "Asal engke kudu maen bola" (Asal nanti harus main bola)
"Ah, gampang eta mah" kataku
Kemudian mereka mengajak kami berjalan dan melewati suatu jalan rahasia yang sepertinya tidak boleh saya sampaikan di sini. Karena itu rahasia kami. Haha Semoga kenekatan ini diampuni dan dimaafkan. Ketahuan kan jadinya kami ini penyelundup kere (Diposting pula di Internet, Sar!)
Setelah kami tiba di pantai Karang Bolong dengan selamat dan tidak ketahuan petugas setempat, kami berfoto sana-sini. Sepanjang bermain dan berfoto di area Pantai Karang Bolong, anak-anak pemandu itu terus meminta kami untuk bermain bola. Ya, mereka mengingat janji saya sejak awal. Janji bermain bola itu yang membuat mereka mau menunjukkan jalan pintas nan berbahaya ke dalam pantai Karang Bolong. Akhirnya saya dan teman-teman saya menyanggupi. Permainan bola di pinggir pantai itu adalah permainan bola paling epik. Bukan karena tim saya dan teman-teman lain kalah, tapi juga karena saya tidak menyangka, bermain bola dengan kami saja sudah membuat mereka sebahagia itu.
Iya, senyuman mereka secandu itu!
Candu senyuman itu yang membuat saya selalu berusaha mencari anak-anak di setiap perjalanan. Selalu ada keajaiban-keajaiban kecil yang membuat perjalanan saya menjadi menarik jika mengikuti anak-anak.
Tsunami Selat Sunda pada Desember 2018
Ketika berita tentang tsunami menghantam Anyer, saya langsung teringat dengan teman-teman saya di sana. Syukurlah mereka aman, karena memang rumah mereka jauh dari pantai dan berada di dataran tinggi. Lalu, saya juga teringat pada anak-anak itu. Dua tahun memang sudah berlalu, saya juga sudah lupa dengan nama-nama anak itu, tapi kebahagian saya hari itu nampaknya tidak juga meluruh. Kebahagiaan dari kenangan itu kemudian berbuah kekhawatiran akan kondisi mereka.
Saya juga membayangkan begitu banyak anak-anak yang bahagianya mungkin terenggut seketika, orang tua-orang tua yang kehilangan anaknya, atau anak-anak yang kehilangan orang tuanya, atau masyarakat lain yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai.
Saya melayangkan doa banyak-banyak untuk mereka, juga untuk seluruh masyarakat yang terkena bencana tsunami, baik di Anyer maupun Lampung. Saya berharap mereka dalam keadaan yang baik, jikapun ternyata kemalangan menghampiri mereka, saya berharap mereka diberi kekuatan untuk melalui bencana ini dengan ikhlas. Dan saya harap menemui senyum mereka lagi, antusias mereka lagi, semangat mereka lagi, kebahagiaan mereka lagi.
Stay Strong, Anyer dan Lampung.