Wandering & Wondering

Memanusiakan Manusia

8/06/2017


“Rocker juga manusia, punya rasa, punya hati. Jangan samakan dengan pisau belati”

Familiar dengan lagu itu? Selamat anda ternyata sudah berumur. Haha. Lagu jadul tersebut mencoba untuk mengajak kita sama-sama sadar, rocker yang kelihatan garang saja, masih punya rasa dan hati loh. Punya emosi sedih, senang, bahkan galau!

Dan ternyata, tidak hanya rocker saja loh yang ingin diperhatikan sebagai manusia. Ada artis yang juga harus mengingatkan penggemarnya, “Seleb juga manusia, loh!” atau profesi-profesi lainnya sekalipun, seperti misalnya ketika ada dokter yang jatuh sakit, 

“Lah, dokter kok sakit?”
Kemudian, kembali muncul pernyataan, “Dokter juga manusia”
Atau
“Guru kok gitu sih!”
“Guru juga manusia tau!”
Atau
“Oooh kamu ternyata suka main juga ya. Aku kira kamu sukanya belajar doang, hehe”
“Yeee, aku juga manusia kali”
Dan mungkin bertambah lagi daftar ‘ingin-diakui-manusia’

Kita bisa jadi berada pada dua posisi itu, merasa heran dengan orang lain yang ‘kok dia bisa gitu sih?” ketika ada yang tidak sesuai dengan pendapat pribadi kita tentang orang lain dan di sisi lain juga berkata lantang “Gini-gini, aku juga manusia, loh”

Lama-lama, aku mulai bertanya-tanya sendiri, kenapa bisa ada istilah itu, ya? Istilah ingin diakui sebagai manusia, sampai harus ada penekanan, “Aku juga manusia (sama kayak kamu)”
Berdasarkan perbincangan dengan orang-orang kecil di kepala saya, Mungkin ini karena kita selalu berekspektasi tinggi pada orang-orang di sekitar kita, tapi di sisi lain kita ingin diri kita dimengerti oleh orang sekitar kita dengan berbagai kekurangan kita atau sisi lain kita yang tidak dipahami orang lain. Kita ingin diperlakukan sebagai manusia yang punya banyak sisi, sebagaimana manusia lainnya. Tapi, kadang, kita lupa untuk ‘memanusiakan manusia’ lainnya.

Memanusiakan manusia?

Maksud memanusiakan manusia disini (setidaknya versi yang aku punya) adalah menyadari bahwa manusia itu punya begitu banyak sisi. Tidak hanya dua warna: hitam atau putih. Ya kalau enggak jadi orang baik, ya dia pasti orang jahat. Kita lupa, kalau orang yang ‘baik’ itu punya sisi-sisi lain, punya kekurangan dan kesalahan. Kita lupa, kalau orang yang kelihatannya ‘jahat’ punya sisi baik yang tidak terduga. Ya padahal namanya manusia itu punya sisi lebih dan kurang. Seperti halnya aku, dan seperti halnya kamu. 

Kita mungkin terlalu terbuai dengan dongeng-dongeng hitam vs putih yang selama ini meninabobokan kita. Misalnya, kisah Cinderella. Cinderela yang cantik, baik hati, patuh pada orang tua tersiksa oleh ibu tirinya dan kedua kakak tirinya yang super duper menyebalkan. Terlihat orang baik pasti baik, orang jahat pasti jahat. Padahal itu Cinderella anak bandel juga loh, dilarang sama orang tua pergi ke pesta malam-malam, malah kabur mau ketemu ‘gebetan’ plus meminta pertolongan ‘makhluk gaib’. Hadeeeh. Hahaha

Ibu tirinya sendiri yang super nyebelin itu meski menyebalkan, mencintai kedua anak kandungnya tanpa tapi. Rela melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya. Kakak Cinderella bersikap jahat mungkin hasil dari lingkungannya sejak dulu yang membanding-bandingkan mereka dengan gadis cantik lainnya, yang membuat mereka merasa ‘tidak cukup cantik’, pasti ada sisi-sisi kedua kakak tiri Cinderella ini sedih dan galau, namun di depan terlihat ‘setrong’ dan galak. Yah, sama lah kayak kisah bawang merah putih, atau sinetron 90an ‘Bidadari’ atau bahkan sinetron sekarang juga tipenya masih sama ya?

Aku sama sekali tidak bilang kisah Cinderella itu sebenarnya begitu ya, itu hanya imajinasi liar saya yang mencoba mencari bahwa manusia itu memiliki begitu banyak sisi. Bisa jadi satu sisi membuat bahagia, satu sisi membuat kesal. Sayangnya banyak dari kita ingin bertahan dengan sikap bahagia, tapi enggan menerima kekurangan yang membuat kesal. Ya kalau tidak ingin kecewa, berharap sama Pencipta saja. Kalau sama manusia pasti ada kecewa, lah karena mereka ‘manusia’ kan?

Kita juga.

(Lanjut ke Memanusiakan manusia Bagian 2)
Post Comment
Post a Comment