Wandering & Wondering

Nararya di Langit Kejiwaan

11/28/2015
BULAN NARARYA:
Nararya di Langit Kejiwaan
(Sebuah Resensi Bulan Nararya oleh Sinta Yudisia)

Oleh Sara Fiza



Judul buku : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting bahasa : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Ketebalan : 256 halaman
Ukuran : 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
Cetakan I : September, 2014
 
“… Bila bukan karena  ketangguhan jiwa dan kemampuan mencari solusi maka manusia bisa menjadi gila.” (Bulan Nararya, hal 33)
      Menjadi Nararya Tunggadewi adalah menjadi bagian dari para skizofrenik dan begitulah para skizofrenik menjadi bagian dari Nararya yang kerap dipanggil Rara. Membaca Bulan Nararya adalah membaca kejiwaan setiap karakternya. Memang inilah yang ditawarkan Sinta Yudisia dalam novel ini, sebuah novel psikologi yang mengantarkan pembacanya masuk ke dalam dunia realitas para penghuni Mental Health Center, baik para pasiennya maupun terapisnya sekalipun.
        Adalah Yudhistira, Pak Bulan, dan Sania sebagai klien penghuni pusat rehabilitasi yang menjadi bagian hidup Rara. Yudhistira yang mengidap skizofrenik katatonik dan Obsessive Compulsive Dissorder alias OCD merupakan sosok yang dikelilingi ibunya dan ketiga kakak perempuannya yang protektif  yang kemudian berbenturan dengan istrinya, Diana, yang mandiri dan keras kepala nampaknya menjadi alasan tekanan mental bagi Yudhistira. Ada juga Pak bulan yang senang menatap bulan yang selalu ia sebut-sebut bulan purnama meski di langit justru sabit yang tampak. Kemudian, Sania, gadis yang memiliki masa lalu suram di tengah keluarganya yang kelam; ibu bergonta-ganti pasangan, bapak pemabuk, dan nenek pemukul.
         Kehadiran klien-klien Rara itu semakin membuatnya bersikukuh mempertahankan idealismenya untuk mengembangkan terapi transpersonal yang menggunakan pendekatan kekeluargaan yang bisa memakan waktu lama dibandingkan dengan farmakologi yang membuat pasien ketergantungan pada obat-obatan. Meski berulang kali ditolak oleh pemilik pusat rehabilitasi, Bu Sausan, Rara tetap menjunjung tinggi mimpinya itu.
       Kehidupan Rara sebagai terapis tidak berarti ia terbebas dari masalah hidupnya. Ditengah-tengah beban kerjanya yang bertumpuk, Rara harus menelan pil pahit saat pernikahannya dengan Angga, yang dipuja-puja banyak wanita, harus kandas setelah sepuluh tahun pernikahan dan semakin pelik ketika Moza, sahabatnya, justru menikah dengan angga diam-diam setelah perceraian mereka dan hamil! Hal yang tidak kunjung ada ketika Angga membersamai dirinya. Tekanan hidupnya yang seolah begitu sempurna mendekapnya membuat Rara harus berhadapan dengan sebuah halusinasi kelopak mawar yang berserakan dengan genangan darah anyir di tempat kerjanya. Peristiwa yang dianggap halusinasi inilah yang seiring berjalannya waktu menjadi bumbu ketegangan pada novel ini.
       Sinta Yudisia, sang penulis, begitu pintar mengeksplorasi karakter demi karakter sehingga para pembaca seolah berbicang dengan karakter dalam novelnya. Kita akan juga dibingungkan dengan mencari jalan keluar dari permasalahan Rara, bagaimana kondisi kejiwaan kita jika menjadi Yudhistira, Pak Bulan atau Sania, atau bagaimana kesalnya melihat kelakuan Angga. Berlatar belakang lulusan magister Psikologi, Sinta Yudisia tentunya begitu paham dengan psikologi yang diangkatnya. Kita tidak hanya dikenalkan dengan dunia psikologi dan lika-likunya, tapi kita juga diberi penyelesaian-penyelasaian masalah yang dikirimkan lewat karakter Bu Sausan yang meskipun tegas dan konservatif namun begitu bijak dan cerdas dalam menasihati.

“Tak usah mencari apa makna yang tersirat,” Bu Sausan seolah membaca pikiran.”Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja.”(Halaman 93)

        Atau Faridah, sosok yang ia temui di kota Palu mengajarkannya secara tidak langsung untuk terus bertahan dalam kehidupannya dengan menceritakan konflik Poso yang merenggut suaminya.
          Selain eksplorasi karakter yang manis, penulis juga mampu membuat Novel Dewasa ini dengan plot yang memikat, dosis ketegangan yang pas, dan setting yang begitu mengangkat lokalitas. Diksi yang terkandung di dalamnya begitu memikat kita dan dengan mudah seolah menerbangkan kita pada ujung novel ini tanpa kita sadari.
            Nararya mungkin seolah bulan yang menerangi hidup para pasiennya, menerangi dunia psikologi dengan idealisme transpersonalnya, juga menjadi bulan penerang yang terseok-seok menerangi dunianya sendiri. Namun, yang menjadi catatan adalah Nararya merupakan refleksi dari semua unsur cahaya lain dalam hidupnya berupa pasien-pasien skizofreniknya.


4 comments on "Nararya di Langit Kejiwaan"
  1. Buku yang menarik. patut untuk dibeli. terimakasih resensinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bukunya memang menarik. Iyaa.. Selamat membaca ya :D

      Delete
  2. Jadi penasaran...ingin baca novelnya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa ayooo baca novelnya supaya penasarannya terjawab hehe :)

      Delete