Kalau kau
ingin membaca kisah petualangan pendaki handal dan cerita tentang keindahan
puncak yang indah, maka kau salah tempat. Carilah blog-blog pendaki dan
mulailah menguntit para pendaki hebat yang sudah mendaki banyak puncak, kau
akan temukan mereka berdiri gagah di banyak puncak dengan pemandangan yang
begitu Indah.
Puncak-puncak
putih bukanlah cerita tentang puncak bersalju. Maka kau boleh saja pergi dan
tidak jadi membaca tulisan ini.
Cerita
ini adalah tentang sebuah, hmm..., kau bisa menyebutnya kegagalan. Kegagalan
menurutmu, mungkin.
Maka,
inilah sebuah kegagalan pada puncak-puncak putih kupaparkan.
***
Setelah
perjalanan panjang dari Bandung ke Malang dengan terlebih dahulu transit di
Kediri, setelah perang tawar menawar angkot, kemudian tawar menawar penginapan
yang harganya menjadi setengahnya, masih juga harus tawar menawar Jeep hingga
pukul 2 sambil makan nasi campur kentang mustofa--hasil eksperimen--ditabur
kacang pilus dan rumput laut, akhirnya kami berhasil sampai di Penanjakan satu,
Voila! Puncak berkabut. Putih. Semakin pagi, semakin siang, jam mulai
menunjukan pukul 9 tapi kabut tidak juga beranjak. Kami bersikukuh untuk
tinggal, mungkin saja semakin siang selimut kabut itu akan tersingkap, wilayah
Bromo nampaknya kelelahan hari itu dan enggan untuk memamerkan cantiknya,
setiap orang mulai pulang kecewa, kami masih bertahan. Temanku masih saja belum
mau beranjak, tapi setelah diseret oleh jadwal perjalanan, ia luluh juga.
Mendaki Gunung Gede jalur Gunung Putri kami kehujanan selama pendakian. Sampai di
Alun-Alun suryakencana semua berbalut putih, kami hanya bisa melihat beberapa
meter kedepan. Ketika sampai puncak, aku kembali menemukan puncak putih, tapi
tak seluruhnya. masih sempat mengabadikan momen sebelum awan putih kembali menyergap,
masih bisa melihat kawah sebelum putih akhirnya menutupi, dan kemudian kami
kembali berjalan turun ditengah putih.
Paralayang
di Puncak, Bogor pun aku kembali disapa putih. Langit memutih. pemandangan
dibawah masih terlihat hijau dan jelas, hanya langit yang putih. Berbeda dengan
di bromo ataupun di Gede, kabut menghiasi bagian atas juga menciumi alam hingga
bawah. Aku pernah berada ditengah kabut, Namun ini, hanya langit yang memutih.
Ternyata putih yang kutemukan berbeda. Dulu kutemukan kabut, Kini?
"Ini
mah bukan kabut, neng. Asap itu loh neng kayaknya."
"Asap
Riau, pak?"
"Iya
neng, katanya udah nyampe sini juga"
Masa sih? Aku hanya bisa mengoceh dalam hati. Sudah Sampai sini?
***
Setiap
perjalanan adalah sebuah cerita menarik. Dibalik puncak-puncak putih yang
mungkin hanya bisa jadi cibiran orang karena tidak melihat pemandangan yang
sesungguhnya, ada sebuah kisah belakang layar yang mungkin tidak mereka tahu.
Mengingat Bromo dan malang kadang saya terkekeh sendiri, selain berhasil mengunjungi
berbagai tempat indah tentunya, intinya kami belajar teknik menawar dan
manajemen uang minim dengan keinginan tempat kunjungan yang terlalu banyak.
Kami semakin menghargai makanan setiap suapnya. kami belajar untuk tidak makan
di stasiun kereta karena harganya terlalu mahal dan isinya sedikit. Carilah
warteg mahasiswa di Malang, dengan Uang 10ribu kami bisa makan berenam
sekaligus dengan nasi menggunung dan lauk yang lumayan. Kami merasakan sensasi
membawa motor ke sempu sejauh 140km bulak-balik tanpa tahu jalan dan kehujanan.
Kami merasakan persaudaraan di tanah orang atas teman yang telah menampung kami
karena tidak sanggup menyewa penginapan. Dan setiap langkah kami lainnya adalah
cerita.
Mengingat
Gede, adalah melihat persaudaraan. Mendengar ragam cerita dan keceriaan juga
arti hidup dari setiap pendaki lainnya. Mengingat Gede adalah makan enak dengan
Chef handal dan langit bertaburkan bintang-bintang saat dini hari menyapa.
Mengingat Gede adalah melihat carrier abang setim sebesar kulkas dan masih bisa
melempar lelucon sepanjang jalan. Mengingat Gede adalah mengingat jurnalis
Korea yang kusangka orang jepang dan kemudian mendokumentasikan langkah kami.
Mengingat Gede adalah bertukar nomor dengan bapak Hantu Rimba tim SAR yang
kemudian mengajak mendaki ke Gunung salak, yang harus kutolak karena waktu itu
godaan skripsi dan wisuda terasa sangat menggoda.
Mengingat
Puncak adalah mengingat Riau dan daerah di Sumatera lainnya, mengingat Berau
dan daerah di Kalimantan lainnya. Bukan hanya puncak mereka yang putih, seluruh
kota berbalut putih. Putih mereka bukan kabut yang dingin, melainkan Asap penuh
racun yang perlahan-lahan membius para warga menjadi kesakitan. Di
puncak-puncak putih, selalu ada cerita dan hikmah, saudaraku... semoga kalian
menemukan sebuah hikmah putih di kota kalian tanpa harus hanya meratap namun
juga berdoa dan bergerak. Gerakan kalian di media sudah semakin merebak,
semakin banyak orang yang sudah sadar. Semoga kalian terus bertahan ketika para
pengepul asap itu mulai mencekik kalian dengan putih-putih mereka yang
mematikan.
Di
puncak-puncak putih, kalian bisa saja menyebutnya kegagalan. Di kota-kota putih
ini siapa yang sebenarnya merencanakan kegagalan? Siapa yang gagal
menyelamatkan?
Indonesia
putih, apakah ini sebuah kegagalan? Lantas Siapa?
 |
Puncak, Bogor |
 |
Bromo |
 |
Gunung Gede bersama Srikandi Rocker |
 |
Kabut Asap Berau (Sapos.com) |
 |
Kabut Asap Riau (MetroNews) |