Menelisik
Pesan Cinta dalam Cerita
Analisis Amanat Cerpen O’henry “The
Gift of Magi” dan “The Last Leaf”
*spoiler alert, I would like to recommend you to read the Short stories before reading this essay ^_^*
Setiap karya dikatakan tidak ada yang ‘innocent’. Ia memiliki misi dalam
setiap kata dan ia memiliki pesan dalam tiap tulisan. Begitupun dengan setiap
cerita pendek alias cerpen, setiap cerita memiliki pesan yang tersimpan
disetiap kata-kata. Oleh sebab itu sebuah cerpen yang merupakan bagian dari
prosa memiliki unsur intrinsik penting yang tidak dapat dihapuskan dalam sebuah
cerita, yaitu amanat. Amanat merupakan pesan yang terkandung dalam sebuah
cerita dan merupakan misi yang hendak disampaikan oleh si penulis. Amanat
menggambarkan pikiran dan pandangan penulis juga bisa berupa ajakan bagi para
pembaca untuk meyakini apa yang penulis yakini baik secara langsung maupun
tidak. Amanat merupakan ruh dalam sebuah cerita yang membuat cerita hidup dan
berarti. Dan tanpanya maka sebuah karya dapat dikatakan mati.
O’henry, merupakan salah satu penulis
yang apik dalam mengemas pesan dalam
setiap cerpen-cerpennya. Ia mampu menghidupkan ruh dalam cerita yang klasik
namun juga dramatis. Dan pesan-pesan itu dapat kita lihat dari setiap cerpen
yang ia tulis. Sebagai contoh adalah dua cerpen yang sangat terkenal dari
O’henry yaitu “The Gift of Magi” dan “The Last Leaf.”
Dalam cerpen “The Gift of Magi”, O’henry dengan gaya klasiknya menceritakan
secara detail tentang kehidupan sepasang suami-istri yang kehidupannya
pas-pasan. Ia menggambarkan dengan perlahan rasa gelisah yang dialami tokoh
utama, Della yang kebingungan di hari Natal dimana setiap orang saling
memberikan hadiah dalam perayaan umat kristiani ini. Della yang sangat ingin
memberikan hadiah untuk suaminya menyadari bahwa ia hanya memiliki sedikit uang
“One dollar and eighty-seven cents”,
yang tidak cukup untuk membeli hadiah untuk suaminya, James alias Jim. Akhirnya
Della memutuskan untuk menjual rambutnya yang indah, yang dikatakan “Shining
like a cascade of brown waters.”
Meskipun, ia tahu bahwa rambutnya adalah hal yang disukai suaminya selain
arloji emas warisan turun-temurun keluarganya. Tapi, ia tak bisa menahan
keinginannya untuk memberikan hadiah bagi suaminya. Setelah menjual rambutnya
untuk dua puluh dollar pada Madame
Sofronie, Della menyusuri setiap kota dan akhirnya membeli sebuah rantai jam
berwarna emas yang cocok untuk jam kesayangan Jim.
Ketika Jim pulang dan melihat Della
dengan rambut pendeknya, ia menatap Della dengan tatapan ganjil. Della terus
menjelaskan bahwa ia menjual rambutnya untuk membeli hadiah untuk Jim dan ia
berusaha menenangkan Jim bahwa rambutnya akan segera tumbuh dengan cepat. Namun
betapa terkejutnya Della ketika ia membuka bungkusan yang dibawa Jim untuknya,
sepaket sisir yang indah dan begitu Della inginkan sejak dulu. Sisir itu tidak
akan berarti dengan rambut cepaknya kini. Kemudian akhirnya Della memberikan
rantai emas yang ia beli untuk arloji Jim. Dan sepasang suami-istri itu semakin
terkejut ketika Jim mengatakan bahwa ia menjual arloji warisan keluarganya
untuk memberikan Della hadiah sisir itu. Sungguh menyesakkan dan dramatis. Kini
hadiah mereka tidak terlalu berarti kelihatannya, namun perasaan dalam barang
pemberian itu tentunya lebih berarti.
“The
Gift of Magi” bukan kisah cinta
biasa. Mereka tidak perlu menenggak racun layaknya Romeo dan Juliet untuk
membuktikan kata cinta. Mereka berdua merelakan hal yang mereka paling cintai
untuk memberikan sebuah benda penuh kasih sayang untuk orang yang paling mereka
sayangi. Ini bukan sekedar kisah dramatis, ini kisah penuh pengorbanan manis. Inilah
pesan cinta yang ingin disampaikan oleh O’henry. Ia mengirimkan pesan lewat
kisah sederhana dan dua karakter kuat yang bukan hanya bercerita kisah
romantis, tapi dapat diartikan sebagai kekuatan dari saling memberi. Mungkin
O’henry memang mengangkat Magi dalam
kisah Umat Kristiani. Namun, pesan dan kebenarannya merupakan pesan universal.
Contohnya dalam Islam, umat islam pun diajarkan untuk saling memberi “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya
kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari)
Sama halnya dengan “The Gift of Magi”, “The Last Leaf” masih bercerita tentang pengorbanan. O’henry masih
menitipkan pesannya lewat karakter kuat dan gaya seperti biasanya “Twist ending”. Kali ini, O’henry
bercerita melalui dua gadis seniman yang bersahabat. Diceritakan dalam
cerpennya bahwa saat itu merupakan musim dingin, dimana pneumonia menghantui
banyak orang, terlebih apartemen yang mereka tinggali. Seperti digambarkan “That was in May. In November a cold, unseen
stranger, whom the doctors called Pneumonia, stalked about the colony, touching
one here and there with his icy fingers.” Johnsy salah seorang gadis
seniman itu terkena pneumonia dan dikatakan bahwa ia tidak akan bertahan lama
dan peluang hidupnya menipis kecuali jika ia memiliki semangat hidup yang dapat
menambah peluang hidupnya. Namun, ternyata Johnsy sama sekali putus asa, ia
menghitung setiap lembar daun yang jatuh di pohon pinus Ivy. Sampai hanya tersisa lima lembar daun. Dan Johnsy berkata
bahwa ia akan pergi—meninggal—ketika daun terakhir jatuh dari tangkai pohon
itu. Ditengah keputus-asaan Johnsy,
O’henry kemudian memunculkan tokoh lelaki tua, Behrman yang merupakan pelukis
yang selalu membicarakan Masterpiece
yang tidak pernah ia buat dan tidak pernah ia kerjakan. Dalam empat puluh tahun
ia hanya menjadi model para seniman untuk melukis, sedangkan ia tidak pernah
berhasil membuat Masterpiece nya
sendiri. Dan Brehman tak habis pikir ketika Sue, sahabat Johnsy bercerita
tentang Johnsy yang ingin mati hanya karena daun saja.
Cerita berlanjut dengan Johnsy yang
terus memandangi satu daun yang tersisa di pohon lewat jendelannya yang tidak
kunjung jatuh juga. Akhirnya Johnsy menyadari bahwa ia seharusnya tidak
menyerah, sebagaimana selembar daun terakhir yang juga tidak jatuh dan menyerah
meski diterpan angin musim dingin. Semangat hidupnya tumbuh dan kesehatanya
membaik, Ia sembuh.
Cerita berakhir ketika Sue bercerita
pada Johnsy bahwa Old Brehman telah meninggal kedinginan di kamarnya dengan
sepatu dingin yang penuh dengan es, tangga, dan lentera yang masih menyala juga
palet yang berisi cat hijau dan kuning. Ternyata daun yang tidak pernah jatuh
itu merupakan Mahakarya pertama dan terakhir Brehman. Ia melukis daun didepan
jendela Johnsy dan Sue dimalam yang sangat dingin, saat daun terakhir gugur.
Lagi-lagi kisah dramatis, lagi-lagi
kisah yang dapat dikatakan tragis. Inilah pesan cinta lain yang ingin
disampaikan oleh O’henry pada para pembacanya. Inilah amanat penulis yang
dikemas dengan apik dan menarik yang terasa disetiap denyut ceritanya. O’henry
menunjukan bahwa dalam keadaan semiskin apapun, dalam keadaan setua apapun,
dalam keadaan apapun, kita masih dapat menjadi manusia yang berarti. Bahwa
Mahakarya terbesar yang dimiliki oleh umat manusia adalah dengan memberikan
manfaat dan arti bagi orang lain. Mahakarya yang bukan hanya mendatangkan
inspirasi atau sekadar hiburan bagi orang lain, namun mahakarya yang dapat
menghidupkan semangat bagi orang lain. Dan O’henry menyatakan semua itu bukan
dengan ceramah panjang lebar dalam cerpennya, namun lewat dialog-dialog
mengalir dan aksi sederhana seorang lelaki tua. Mungkin memang ia tak begitu
berarti sepanjang hidupnya, namun ia berarti di akhir hayatnya. Ia mungkin mati
tragis sendirian, namun pengorbanannya berbuah manis untuk banyak orang.
Sebuah Sastra dikatakan bukan hanya
memiliki sifat indah dan menghibur, namun sastra juga dikatakan sebagai karya
didaktif yang mendidik, bermoral karena mengajarkan moral baik, bahkan religius
yang berisi pesan-pesan agamis bagi para pembacanya. Sastra O’henry mengandung
unsur-unsur tersebut. Dengan gaya kepenulisan yang menghentakan jantung para
pembaca di akhir setiap cerita, O’henry pun sukses membuai pembaca untuk
memaknai kehidupan lewat amanat cerpennya. O’henry mengajarkan bahwa mencintai
itu sederhana, sesederhana hadiah bagi sepasang suami istri dan sesederhana
lukisan daun terakhir di musim dingin. Mencintai itu sederhana, cukup menjadi
manusia berarti sebelum berakhir mati.